PILIH PMB

14 Februari 2009

SUMBANGAN PEMIKIRAN RAPERDA LARANGAN ATAS MINUMAN KERAS (Lanjutan 6)

http://www.pmbpasuruankota.blogspot.com


TINJAUAN DARI ASPEK RECHTSMATIG DAN WETSMATIG

Kegiatan mempersiapkan, membahas dan menyusun sebuah perundang-undangan merupakan ruang lingkup legal drafting. Dalam hal ini adalah kita sedang mempersiapkan, membahas dan menyusun sebuah Rancangan Peraturan Daerah Kota Pasuruan Tentang Larangan Minuman Keras Dalam Wilayah Kota Pasuruan.

Jelasnya sebagai berikut:
  1. Judul Raperda. Judul Raperda adalah "Peraturan Daerah Kota pasuruan No ......, Tahun 2009 Tentang Larangan Atas Minuman Keras Dalam Wilayah Kota Pasuruan". Secara normatif, kata minuman keras sudah dikenal dan dipergunakan dalam KUHP, khususnya pasal 537, pasal 538, da pasal 539. Demikian juga, kata minuman keras digunakan dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Kesehatan, khususnya pasal 11 ayat (2). Secara semantik, sebutan minuman keras memiliki konotasi lebih seram, dasyat dan menakutkan daripada sebutan minuman beralkohol, karena pengaruh minuman keras itu memang sangat mengerikan.
  2. Konsideran. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam konsiderans, yakni: 2.1. Substansi Menimbang. Substansi dalam Menimbang tidak semata-mata hanya menekankan aspek akibat saja. Seyogyanya kita perlu memberi tekanan pada aspek filosofi, karena minuman keras itu merusak dan merugikan segala-galanya. Dalam hal ini, aspek filosofinya adalah martabat kemanusiaan dan martabat bangsa. 2.2. Ditambah unsur "Memperhatikan". Di dalam konstruksi Konsiderans, perlu ditambah "Memperhatikan". Dengan demikian, Konsiderans terdiri dari Menimbang, Mengingat, dan Memperhatikan. Untuk Konsiderans Memperhatikan dalam konteks pelarangan miras, adalah memperhatikan aspirasi masyarakat Kota Pasuruan.
  3. Peran Serta Masyarakat. Perlu diadakan bab tersendiri tentang peranserta masyarakat untuk ikut berpartisipasi dengan turut serta "mengamati" peredaran minuman keras di Kota Pasuruan. Hal tersebut adalah sekedar "melaporkan" kepada pejabat yang berwenang jika menemukan atau mengetahui sesuatu yang berhubungan dengan minuman keras. Hak melaporkan sesuai dan sejalan dengan aturan berikutnya yakni Bab IV Pengawasan, pasal 5 ayat (2) huruf a yang berbunyi: "a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana pelanggaran peraturan daerah ini, agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan luas." Sekali lagi, bahwa masyarakat hanya melaporkan saja kepada pejabat berwenang, tidak boleh lebih dari itu. Kita tidak berharap dan harus menghindari adanya eigenrechting dari masyarakat. Namun demikian, laporan itu sangat diperlukan, mengingat keterbatasan tingkat pengawasan yang dimiliki oleh pejabat yang berwenang. Laporan masyarakat tersebut sebagai bentuk partisipatif dari adagium law is a tool of social engineering (Prasaran A. Manshur Effendi, SH dalam diskusi hukum FHPM Unibraw malang, 2 Juni 1975). Disamping juga sebagai jawaban terhadap aspek filosofi yakni "demi martabat kemanusiaan manusia" dan "martabat bangsa".
  4. Dalam Rancangan berbunyi "Bagi pelaku tindak pidana pelanggaran yang dimaksud pasal 6, 7, 8, 9 Peraturan Daerah ini dikenakan pidana tambahan yaitu usahanya ditutup dan barang buktinya disita untuk dimusnahkan." Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam klausul pasal tersebut, yakni: 1. pidana pelanggaran, dan 2. usahanya ditutup dan barang buktinya disita untuk dimusnahkan. Kita membahas yang pertama, yakni pidana pelanggaran. Pidana pelanggaran tidak dapat disamakan dalam pelarangan atas miras sebagaimana dalam Rancangan ini. Mengapa? Karena secara kualitatif perbuatan pidana dalam sistem KUHP kita dibagi ke dalam dua jenis, yakni kejahatan dan pelanggaran. Marilah kita perhatikan penjelasan Prof. Moelyatno, SH dalam bukunya "Azas-Azas Hukum Pidana, Penerbit PT Bina Aksara, jakarta, 1987, Cet. Keempat, h.71, sebagai berikut: "Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP, kita bagi atas kejahatan (Misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP, tetapi sudah dianggap demikian adanya dan ternyata antara lain dari pasal 4, 5, 39, 45 dan 53 Buku ke-1. Buku ke-2 adalah spesifik tentang kejahatan dan buku ke-3 tentang pelanggaran." Dalam KUHP. miras diatur dalam pasal 300, 492, 536, 537, dan 538. Posisi pasal 300 berada pada atau dalam Buku ke-2 yakni tentang Kejahatan, adapun yang lain berada dalam buku ke-3 tentang Pelanggaran. Oleh karena itu, harus ada pemisahan dari pasal-pasal tersebut, sehingga tidak dapat secara keseluruhan dimasukkan ke dalam ruang lingkup pidana pelanggaran sebagaimana dalam Rancangan yang ada. Bahasan ke-2, mengenai sanksi pidananya harus lebih berat dari sanksi "Usahanya ditutup dan barang buktinya disita untuk dimusnahkan." Dalam hal ini, si produsen yakni perusahaan yang membuat miras atau si pengoplos miras, harus masuk katagori "tindak kejahatan" dengan sanksi yang lebih berat dan usahanya ditutup. Sebab perusahaan yang memproduksi miras termasuk mengoplos itulah sebagai sumber masalah menjadikan orang atau beberapa warga masyarakat mengalami ketertarikan dan kecenderungan untuk meminum miras.
Tidak berlebihan bila dikatakan, perusahaan miraslah yang menjadi penyebab utama rusaknya moral masyarakat, sehingga dapat mengancam ketertiban, ketenangan dan keamanan masyarakat. Dan lebih dari itu dapat merendahkan martabat kemanusiaan dan martabat bangsa.

Dalam rangka yang disebut terakhir tadi, Peraturan Daerah Tentang Larangan Atas Miras harus benar-benar menjadi sebuah instrumen hukum yang mampu memberikan efek jera, disamping mampu membentengi masyarakat luas dari pengaruh buruk dan jahat minuman keras. Sangat diharapkan, bahwa Perda kita nanti mampu dan dapat mengejahwantakan law is a tool of social engineering.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar